Oleh Sandy Leo
17 August 2022
Mencari Keberadaan Satwa Liar dengan Kamera Jebak (Camera Trap)

“Kamera jebak” apakah itu? Mungkin sebagian dari kita baru mendengar istilah tersebut. Jangan salah sangka dulu, karena kamera ini tidak digunakan untuk menjebak atau menangkap satwa, melainkan hanya untuk memotret dan merekam keberadaan dan aktivitas satwa liar yang berada di suatu kawasan. Kemajuan teknologi saat ini telah mempermudah berbagai kegiatan di lapangan, termasuk melakukan pengamatan dan survei satwa liar menggunakan kamera jebak (camera trap).

 

Pada awalnya, konsep penggunaan kamera jebak pertama ditemukan oleh George Shiras pada tahun 1890an dengan menggunakan kawat jebak yang akan memicu trigger pada kamera ketika satwa target menyentuh kawat tersebut. Metode yang digunakan oleh George Shiras ini kemudian diadaptasi dan semakin berkembang pesat hingga saat ini. Tappan Gregory pada tahun 1927 kemudian mengembangkan metode Shiras dengan menambahkan bubuk magnesium sebagai lampu kilat agar dapat memotret satwa dengan lebih jelas. Gysel dan Davis (1956) mengembangkan kamera jebak yang ditenagai oleh baterai 6V, Pearson (1959) mengembangkan sistem dua trigger tanpa menggunakan kawat jebak, hingga Carthew dan Slater (1991) dan Mace (1994) menggunakan kamera jebak otomatis dengan trigger sinar infra merah. Hingga saat ini, teknologi kamera jebak terus berkembang dengan pesat, bahkan saat ini telah tersedia kamera jebak dengan fitur wifi dan bluetooth yang memungkinkan surveyor dapat melihat hasil foto atau rekaman satwa secara langsung dan real time melalui perangkat atau aplikasi yang terdapat pada smartphone/komputer masing-masing.

 

Saat ini penggunaan kamera jebak telah banyak diaplikasikan secara luas untuk kegiatan survei dan penelitan mengenai satwa liar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sistem kerja kamera jebak dilakukan tanpa keberadaan fotografer, bersifat otomatis, dan hanya akan aktif merekam apabila terdapat pergerakan atau suhu tubuh satwa yang terdeteksi oleh sensor pada kamera. Secara umum, kamera jebak memiliki dua tipe sensor, yaitu sensor gerak dan sensor panas. Penggunaan kamera jebak sangat memudahkan surveyor untuk mengamati dan memantau keberadaan satwa-satwa liar, terutama jenis satwa yang bersifat nokturnal (aktif pada malam hari), pemalu dan cenderung menghindari perjumpaan dengan manusia. Pemasangan kamera jebak dapat dilakukan selama 2-6 bulan dengan aktivasi terus menerus selama 24 jam, sehingga dapat menggantikan peran manusia untuk mengamati satwa liar. Kamera jebak juga mampu menghemat waktu, biaya, dan tenaga yang diperlukan untuk kegiatan survei satwa liar secara intensif meskipun harga setiap tipe kamera jebak cukup mahal berdasarkan fitur yang dimiliki.

 

Pemilihan lokasi dan pemasangan kamera jebak juga tidak dapat dilakukan sembarangan. Banyak pertimbangan yang perlu diambil untuk memasang kamera, seperti metode yang digunakan, jenis satwa target, hingga tanda-tanda yang menunjukkan keberadaan satwa di lokasi tersebut (jejak, sumber air, sumber makanan, feses, tanah lapang, sarang, dan lain-lain). Terkait dengan pemasangan kamera jebak, kami biasanya memasang kamera dengan jarak 500 m antar kamera dan pemasangan pun dilakukan dengan mengikat pada pohon dengan ketinggian 30 – 40 cm di atas tanah. Dengan cara ini dapat diketahui beberapa hal, seperti jenis satwa liar yang ada, distribusi atau persebarannya, dan mendata berbagai komponen ilmiah lainnya.

 

Mencari Keberadaan Satwa Liar dengan Kamera Jebak (Camera Trap)

 

Hasil tangkapan foto camera trap satwa di Hutan Kalimantan

 

Hasil tangkapan foto camera trap Orangutan di Hutan Kalimantan

 

Mencari Keberadaan Satwa Liar dengan Kamera Jebak (Camera Trap)

 

Melihat efisiensi dan kemudahan dari penggunaan kamera jebak, ASRI juga mulai mengaplikasikan penggunaan kamera jebak selama beberapa tahun terakhir untuk memantau keberadaan satwa liar yang muncul di kawasan reforestasi yang dilakukan ASRI di Sedahan dan Laman Satong yang juga merupakan wilayah dari Taman Nasional Gunung Palung (TNGP). Hasil yang diperoleh pun dapat dikatakan cukup menarik karena ditemui beberapa satwa liar yang terekam oleh kamera jebak, diantaranya orangutan (Pongo pygmaeus), tarsius (Cephalopachus bancanus), musang tenggalung (Viverra tangalunga), hingga landak malaya (Hystrix brachyura).

 

Keberadaan satwa-satwa liar tersebut di dalam kawasan reforestasi telah menjadi indikator bahwa upaya reforestasi yang dilakukan oleh ASRI bersama dengan TNGP berjalan dengan baik. Perlahan, kawasan yang awalnya adalah area terbuka dan terdegradasi, kini dapat kembali menjadi hutan dan menjadi rumah baru bagi satwa-satwa liar tersebut. Lebih lanjut, banyak informasi yang dikumpulkan dari kamera jebak ini dapat digunakan untuk menentukan strategi konservasi yang tepat untuk menjaga satwa-satwa liar tersebut agar tidak mengalami kepunahan dan memastikan agar usaha reforestasi dapat terus berjalan dengan baik untuk menyediakan kawasan hutan sebagai habitat ideal bagi satwa-satwa liar tersebut.

 

Sandy Leo - Asisten Riset dan Database di NGO ASRI

 

Profil singkat:

Saat ini Sandy bekerja di ASRI sebagai Asisten Riset dan Database yang bertanggungjawab penuh pada database program dan berbagai kegiatan riset di ASRI, termasuk salah satunya tentang camera trap. Sandy lulus sebagai Magister Ilmu Lingkungan dari Universitas Indonesia dengan bidang keahlian tentang konservasi, perubahan iklim, jasa ekosistem, ekologi, antropologi Masyarakat Adat Dayak, dan pembangunan berkelanjutan. Sejak 2015 hingga sekarang, Sandy terlibat aktif dalam berbagai kegiatan riset dan telah menjelajahi beberapa kawasan hutan di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.

Instagram: @sandyleo_22