
Untuk melihat bahayanya Tuberkulosis (TBC) yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis yang menyerang paru-paru atau bagian organ tubuh lainnya, kita bisa melihat data tahun 2022 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Di tahun tersebut, Kemenkes mendeteksi ada 717.941 kasus TBC di Indonesia. Sementara menurut Global Tuberculosis Report 2022, kasus TB Indonesia masih menempati posisi kedua setelah India.
Dengan banyaknya kasus TBC tersebut untuk menanganinya pemerintah Indonesia melakukan beberapa upaya antara lain, Imunisasi BCG yang diberikan kepada bayi pada saat anak dalam usia 2-3 bulan, Surveilans TBC yaitu pengamatan sistematis data dan informasi kejadian TBC, TOSS TBC yaitu temukan dan obati sampai sembuh TBC, Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT), dan peningkatan kapasitas Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) TBC. Pemerintah juga membuat Peraturan Presiden (Perpres) yang tertuang di No.67/2021 untuk mendukung target eliminasi TBC pada tahun 2030.
Komitmen Indonesia yang ingin mewujudkan target eliminasi TBC pada tahun 2030 disambut baik dan didukung oleh Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) dengan masuknya penanganan TBC dalam program kesehatan yaitu penuntasan TBC bekerjasama dengan dinas kesehatan, puskesmas Sukadana, puskesmas Teluk Batang, dan puskesmas Telaga Harum. Saat ini ASRI menjalankan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-Course). ASRI melatih dan menugaskan Pengawas Menelan Obat (PMO) yang tersebar di desa penyangga kawasan Taman Nasional Gunung Palung. Saat ini ASRI memiliki 10 PMO aktif yang bertugas untuk mengawasi pasien TBC agar pasien tidak putus mengkonsumsi obat.
Ibu Seyni atau yang akrab dipanggil ibu Ritha berusia 48 tahun merupakan salah satu PMO yang bekerjasama dengan ASRI sejak tahun 2008. Ibu Ritha menyampaikan alasannya menjadi PMO. “Ingin membantu penderita TBC dari sembuh dari sakitnya,” begitulah ucap Ibu Ritha.
Selain alasan itu Ibu Ritha juga bersyukur mendapatkan tambahan penghasilan bagi keluarga selain dari hasil menjadi guru PAUD dan ingin mendukung program pemerintah agar Indonesia bebas TBC tahun 2030. Sejauh ini ibu Ritha sudah menangani 50 pasien dengan wilayah kerja di Desa Sedahan Jaya dan Desa Benawai Agung. Semua pasien yang ditangani oleh ibu Ritha berhasil menyelesaikan pengobatan dan dinyatakan sembuh dari TBC, saat ini ibu Ritha sedang menangani 2 pasien TBC.
Keinginan ibu Ritha dalam menyembuhkan pasien TBC juga mengalami tantangan sejak awal program ini dilaksanakan. Satu diantaranya adalah perspektif keliru mengenai penyakit TBC yang masih berkembang di masyarakat seperti yang disampaikan oleh ibu Ritha. “Pasien TBC dan keluarganya masih banyak yang menganggap kalau ini merupakan penyakit tidak menular sehingga penderita tidak mau menggunakan masker,” ucapnya.
Lanjutnya menjelaskan tantangan antara lain banyak juga yang masih menganggap bahwa ini adalah penyakit kutukan atau penyakit keturunan yang tidak bisa disembuhkan dengan medis. perspektif keliru tersebut muncul dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TBC. Dengan adanya hal tersebut menjadi tantangan terbesar bagi PMO untuk mengedukasi masyarakat untuk sadar bahwa penyakit TBC ini bisa disembuhkan dengan pengobatan dan tidak ada kaitannya dengan kutukan atau keturunan.
Tidak jarang Ibu Ritha mengalami penolakan dari keluarga pasien karena menganggap penyakit ini tidak dapat disembuhkan. Selain itu ada juga pasien yang tidak disiplin mengonsumsi obat yang diberikan, serta pasien yang cerewet yang tidak mau memakan obat dengan berbagai alasan. Dalam beberapa kasus Ibu Ritha mendapatkan pasien yang sudah merasa sembuh dari penyakit ketika belum menyelesaikan pengobatan dan menolak meneruskan. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan yang dianjurkan karena proses pengobatan TB memakan waktu 2 bulan fase insentif dan 4 bulan fase lanjutan bahkan bisa lebih untuk beberapa pasien.
Dalam kesempatan berbicara dengan ibu Ritha, beliau menceritakan pengalamannya dalam menghadapi tantangan dengan salah satu pasiennya, di kesempatan tersebut dia mengatakan ada salah satu pasien TBC yang ditangani namun memerlukan perhatian khusus karena setiap kunjungan dilakukan harus menunggu 1 sampai 1,2 jam di rumah pasien tersebut agar dapat bertemu dan memberikan obat. Tidak sampai disitu, pasien tersebut juga susah untuk minum obat sehingga harus dihadapi dengan sabar, menggerus obat untuk dimakan dan tak jarang membawa buah agar pasien mereka senang sehingga mau makan obat. Meskipun begitu, ibu Ritha tetap sabar dan membantu pasien tersebut sampai dengan sembuh dari penyakitnya.
“Bicara dari hati ke hati, dibawa bercanda dulu, ditunggu sampai pasien benar-benar minum obat, bahkan sampai di bawakan makanan, menggerus obatnya” ucap ibu Ritha menyebutkan bagaimana taktiknya dalam memastikan pasiennya untuk mengkonsumsi obat.
Dengan menjadi PMO menyebabkan adanya kemungkinan dapat tertular penyakit pasien TBC, Ibu Ritha tetap melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati tentunya dengan menggunakan protokol kesehatan yang dianjurkan seperti menggunakan masker saat kunjungan kerumah pasien. Pekerjaan sepenuh hati itu diperlihatkan dari bagaimana ibu Ritha mendorong pasien agar tetap minum obat dengan cara melakukan pendekatan, memberikan edukasi seputar TBC dan menyemangati pasien bahwa penyakit ini dapat disembuhkan. Dengan semangatnya inilah Ibu Ritha melayani masyarakat dengan dibantu oleh ASRI melalui monitoring pasien TBC yang ditanganinya.
Satu bulan sekali, ibu Ritha bersama 9 orang PMO lainnya melakukan rapat rutin bersama dengan penanggung jawab TBC dan dokter dari klinik ASRI untuk mendiskusikan perkembangan, pasien serta konsultasi mengenai langkah yang perlu dilakukan pasien TBC. Saat ini, ibu Ritha sedang mengurus 2 pasien TBC di wilayah kerjanya. Ibu Rita berharap program ini dapat membantu upaya pemerintah Indonesia dalam mengeliminasi TBC tahun 2030.